Beranda | Artikel
Hukum Shalat Berjamaah
2 hari lalu

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Hukum Shalat Berjamaah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 16 Al-Muharram 1446 H / 22 Juli 2024 M.

Kajian Tentang Hukum Shalat Berjamaah

Hukum shalat berjamaah bisa kita bagi menjadi dua: yang pertama hukum shalat berjamaah bagi laki-laki dan yang kedua hukum shalat berjamaah bagi perempuan.

Hukum shalat berjamaah bagi laki-laki

Yang dimaksud dengan laki-laki di sini adalah laki-laki dewasa yang sudah baligh, yang mukallaf, yang punya kewajiban dalam syariat atau punya beban dalam syariat. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dan lumayan banyak pendapat yang ada dalam hukum shalat berjamaah bagi laki-laki dewasa atau laki-laki yang mukallaf. Ada yang mengatakan shalat berjamaah itu fardhu ‘ain. Pendapat yang kedua, shalat berjamaah itu fardhu kifayah. Pendapat yang ketiga, shalat berjamaah itu sunnah muakkadah. Pendapat yang keempat, shalat berjamaah itu wajib dan shalat tidak sah kecuali dengannya. Kalau ada orang meninggalkan shalat berjamaah tanpa udzur, maka shalatnyatidak sah.

Setiap pendapat pasti ada dalilnya karena empat pendapat ini adalah pendapatnya para ulama, bukan pendapatnya orang-orang yang awam dalam agama. Para ulama ketika berpendapat, mereka berpendapat berdasarkan dalil. Karena mereka berbeda pendapat dan pendapat-pendapat ini adalah pendapat-pendapat yang bertentangan, maka tidak mungkin semua pendapat ini benar, tidak mungkin semua pendapat ini adalah hukum Allah semua. Karena kalau kita katakan semuanya benar, maka di sini ada menggabungkan hal-hal yang bertentangan dan itu sesuatu yang mustahil. Kata sebagian ulama, atau sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah, berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan atau saling menafikan itu adalah sesuatu yang mustahil. Misalnya, kematian dengan kehidupan ini sesuatu yang saling menafikan; kalau dia mati berarti tidak hidup, kalau dia hidup berarti tidak mati. Misalnya lagi, ada dan tidak ada ini dua hal yang saling bertentangan, saling menafikan; kalau ada berarti tidak ada, kalau tidak ada berarti tidak ada. Tidak mungkin ada sesuatu yang dia ada dan tidak ada dalam satu sisi dan dalam satu waktu, itu sesuatu yang mustahil. Misalnya lagi, bergerak dengan berdiam. Sesuatu itu kalau dia bergerak berarti tidak diam, kalau dia diam berarti tidak bergerak.

Di sini juga demikian, ada yang mengatakan fardhu ‘ain; kalau dia fardu ‘ain berarti tidak fardhu kifayah, berarti tidak sunnah muakkadah. Ada yang mengatakan fardhu kifayah; berarti bukan fardhu ‘ain, juga bukan sunnah muakkadah. Kalau misalnya kita mengatakan sunnah muakkadah berarti dia bukan fardhu ‘ain, juga bukan fardhu kifayah.

Maka dalam menyikapi perbedaan pendapat seperti ini harus menghormati para ulama yang berselisih. Yang pertama, kita hormati mereka sebagai para ulama, orang-orang yang punya ilmu agama yang tinggi dan mereka sudah berusaha untuk berijtihad agar sampai kepada hukum Allah dalam pandangan mereka. Mereka sudah meneliti dalil-dalilnya dan sampai kepada kesimpulan yang berbeda-beda tersebut. Bagaimana kita menyikapinya? Kita di sini memilih salah satu dalil yang diungkapkan oleh para ulama tersebut sesuai dengan pandangan yang kita lihat paling kuat. Sesuai dengan pandangan kita, mana dalil yang paling kuat yang disebutkan oleh mereka, itulah yang harusnya kita lakukan menghadapi perbedaan pendapat para ulama.

Kalau kita melihat dalil-dalil yang disebutkan oleh para ulama ini, secara pribadi saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjamaah bagi laki-laki dewasa yang mukalaf adalah fardhu ‘ain. Fardhu ‘ain adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang, jadi tidak cukup dilakukan oleh satu orang kemudian gugur dari yang lain. Setiap orang harus melakukan. Seperti shalat fardhu. Shalat fardhu itu harus dilakukan oleh setiap orang, tidak cukup misalnya dalam satu masyarakat ada 100 orang yang wajib shalat, ketika satu orang sudah melakukannya maka yang lain gugur. Tidak cukup seperti itu. Itulah fardhu ‘ain. Shalat berjamaah bagi laki-laki dewasa, laki-laki yang mukalaf, juga demikian, hukumnya fardhu ‘ain.

Kenapa ini pendapat yang paling kuat? Karena banyaknya dalil yang mendukung masalah ini, atau banyaknya dalil yang mendukung pendapat ini. Apa dalil-dalilnya?

Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Surah An-Nisa ayat 102. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ …

“Apabila engkau (wahai Muhammad), berada di tengah-tengah mereka (pasukan), kemudian engkau mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah sekelompok dari mereka berdiri bersamamu dan hendaklah mereka membawa senjata-senjata mereka.” (QS. An-Nisa`[4]: 102)

Inti dari ayat ini adalah perintah untuk menjalankan shalat berjamaah ketika keadaan sedang perang. Pada asalnya, perintah itu menunjukkan hukum wajib sehingga kita bisa simpulkan bahwa ketika keadaan sedang perang diwajibkan untuk menjalankan shalat berjamaah. Kalau ketika perang saja diwajibkan menjalankan shalat berjamaah, apalagi ketika keadaannya tenang dan tidak sedang perang. Ini dalil yang kuat untuk menunjukkan wajibnya shalat berjamaah.

Dari sini juga kita bisa mengambil dalil wajibnya shalat berjamaah dari sisi lain. Kita sebelum ini pernah membahas tentang tata cara shalat khauf atau tata cara shalat ketika keadaan sangat genting. Disebutkan di sana bagaimana tata caranya, bagaimana imamnya, bagaimana makmumnya, dan tata cara tersebut berbeda dengan tata cara shalat biasa. Di sini ada perubahan tata cara shalat berjamaah. Ketika shalat khauf yang mengubah tata cara shalat berjamaah yang biasa. Maka ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu wajib, karena diperintahkan ketika sedang perang. Bahkan itu menjadikan tata cara shalat berjamaah yang biasanya menjadi berubah. Kalau tidak sesuatu yang wajib, maka tidak seperti ini keadaannya. Ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu diwajibkan.

Dalil yang kedua adalah dalil yang mengatakan bahwa shalat itu diperintahkan untuk bersama orang-orang yang shalat. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Surah Al-Baqarah ayat 43. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,

…وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah[2]: 43)

Maksud “rukuk” adalah secara keseluruhan, sehingga makna dari ayat tersebut adalah, “shalatlah kalian bersama orang-orang yang shalat.” Ini gaya bahasa orang Arab yang menyebutkan sesuatu dengan menyebutkan bagian dari sesuatu itu. Rukuk adalah bagian dari shalat dan merupakan bagian yang sangat penting dalam ibadah shalat serta istimewa dalam shalat. Sehingga disebutkan untuk menyebutkan semuanya. Perintah untuk shalat bersama banyak orang maksudnya adalah perintah untuk shalat berjamaah, dan pada asalnya, perintah itu menunjukkan hukum wajib.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian Shalat Khauf


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54306-hukum-shalat-berjamaah/